Karya : wahyudi muara
Menyadap hari agar datang terlalau cepat. Begelimang keindahan mimpi merujuk kehari esok lebih cerah. Tak sabar menanti nyanyian suara kodok dimalam itu, lebih nyaman ditimbang musik klasik. Jangkrikpun ikut menyanyi. Tak sekedar hujan rintik –rintik bertaburan di genting rumah itu. Malam terasa mengguyur malam tak dihiasi kemilauan bintang. Haripun mulai menampakkan senyumnya sesudah azan subuh bergelimang aktifitas mulai terlihat.
Pagi cerah mulai tampak di mata. Sorot lampu mulai tak tampak Matahari memancarkan cahaya terhias kesana – sini mulai ada kehidupan kota Ngawi.”Mau kemana Dio?”.Tanya Biung. Ibu dalam bahasa jawa Biung.
Tak habis kata, Dio tidak menjawab. Saat malamnya Dio membereskan baju, celana bekal untuk minggat. Bingkai pikiran begitu judek alias bingung bosan terdiam dirumah setiap hari tidur, makan terus tidur lagi. Malam telah terlewati dengan pikiran mau beranjak pergi dari rumah tidak betak lagi. Hari mulai menyengat ubun –ubun. Dio keluar rumah berjalan kewarung kopi untuk membuka apresiasinya.
”Mau pergi kemana aku ini?”. Tanya dalam hati sambil nongkrong di warung.
”Embok kopi setunggal!”. Ujar dio.
”Pait opo manis lhe?”. Saut bakul kopi.
“Pait wae mbok tombo ngantuk”. Jawab dio.
Mengambil seutas rokok terpapar di meja warung kopi. Sehisab demi hisab untuk menghabiskan rokok. Kesana kemari asap berhamburan dari mulut. Hisapan penuh kebingungan asap penuh tandatanya.
“Mau pergi kemana aku ini?”. Kata dalam hati dio lagi.
Trik panas siang itu tidak mengalahkan seruputan kopi pahit buatan warung kopi. Separo kopi hampir habis, perut memanggil – manggil tak tahan lagi menahan busuk keluar dari mulut bawah “kentut”. Terbirit lari kekakus, kakus tanpa atap dan tembok bertambah bau menyengat dalam kakus dengan asiknya berfikir dikakus.
“Mau pergi kemana aku ini?”. Bertanya dalam hati penuh kebingugan. Mulai terbayang khayalan benak Dio. Tekat bulatnya tak matahkan keinginan pergi dari Ngawi. Perut mulai membaik , rasa lega telah terbuang dari kakus.
Dio pergi tanpa sepengetahuan Biung. Berjalan menuju dentangan keras semburan asap tebal, deretan lorong – lorong begitu banyak jalan beralaskan besi dan serpihan kayu, supir begitu gagah bertengger di kepala seperti pak polisi sebut saja mesionis. Dio naik sepur yang begitu sempit berjejeran orang tanpa tempat duduk. Bekal baju, celana dengan uang tanpa dompet cukup untuk ongkos. Dio duduk dengan nenek setengan tua, di depan anak muda berpakaian pereman, desahan dari samping kanan ibu hamil memegang tas begitu setengah mewah dengan perhiasan menempel dileher. Tak lama kemudian suara ter dengar “Copet – copet”. Ibu dengan perut hamil tas tersayat silet, robek, uang lenyap untuk bekal lahiran anaknya yang dikandung dengan mulut mengangap –ngagap berteriak copet – copet.
“Mana copetnya,mana?”. Dio berkata setengah agak – agak berani.
“Lari kesana!”. Jawab ibu hamil. Dio pun dengan sok berani mengejar tukang copet diatas kereta tapi tak menemukan hasil. Tak banyak kata copetpun terjun dengan cepatnya dari atas kereta. Dio kembali ketempat duduk dengan muka cemberut sok berani.
Tiba di surabaya , bekal baju celana. Dio bingung sehabis turun dari sepur bejalan didepan stasiun mondar – mandir “Siapa aku tuju”. Taklebih bernasif mujur Dio menemukan sopir tronton yang sedang parkir. Dio melamar kerja. Dio pun menceritakan semua atas kepergiannya. Sopir tronton penuh simpatik terpukau mendengar cerita, Dio langsung dijadikan kernet.
Kota penuh kehidupan, aktifitas kota kedua terpadat seindonesia. Waktu berjalan mundur kehidupan bertambah, pengalaman bertambah. Bising tak seindah dulu suara nyanyian kodok tak terdengar lagi diiringi jangkrik. Kehidupan baru mulai dijalani penuh keluh, kesan kesengsaraan.
Sebulan berlalu jadi kernet tronton. Dio belum bisa menerima keadaan ini.
”kiri – kiri, terus – terus, mundur – mundur...!”.
”tolong.......?”. jeritan keras dari sebelah kanan tronton. Dio pun ikut melihat jeritan minta tolong. Habislah riwayat seorang becak setengah tua terpelindas ban tronton. Kesana kemari berceceran darah, kepala sudah remuk seperti keripik berisi saus akibat ban tronton. Dio takberfikir panjang langsung tancap gas langkah seribu. Gerumunan orangpun bertambah banyak menyaksikan kejadian itu. Hari kematian becak setengan tua penuh berita – berita hangat termuat kompas, jawa pos. Polisi tak kalah bertindak pencarian tersangkal tapi tak menbuahkan hasil. Siapa pelaku yang menabrak pak tua ini?
Dengan bekal baju celana dipakai Dio. Dio lari keluar pulau, jauh dari pulau jawa menyeberangi lautan menuju pulau sumatra tepat di Lampung pekon way tebu Muara jaya II. Dio di Muara Jaya II ikut pak dhe Surono seorang laki –laki berkepala empat bejambang logat berbicara penuh kewibawaan. Dio ikut pak dhe Surono sebagai buruh harian “ngoret” pengalaman usai jadi kernet tak mau lagi membunuh orang.
Dio menceritakan kembali atas kepergiannya dari rumah. Pak dhe Surono tersenyum penuh kebingungan mendengar cerita Dio. Entah alasan apa Dio pergi dari rumah. Hari itu takseperti surga setiap hari Dio harus mandi keringat meneteskan kesengsaraan hidup. Hari tak ada istimewa.
Sela- sela waktu berlalu. Sebenarnya Dio takbisa sholat, ngaji bahkan alip bak tak tidak bisa. Pak dhe Surono mengajarkan ilmu agama penuh ketabahan.
” Apakah pak dhe mau jadi Guru saya?”.
”Nanti malam kamu mulai ngaji!”. Jawab pak dhe. Malam penuh kegembiraan dengan senag hati Dio mulai apal alip bak tak, lama kelamaan Dio bisa sholat, ngaji walau tak apal ayat – ayat dan ilmu agama.
Jam berdentang menuju arah mundur. Subuh mulai bagun tubuh ikut menggigil gigi serentak gemetar. Pagi itu, Dio pertama kali sholat subuh ketenangan hati mulai tampak dan dirasakan Dio. Subuh bergeser menampakkan senyumannya matahari. Sehabis sarapan Dio bergegas kekebun. Meludes membabat rumput tumbuh dikebun “ngoret”. Bukan nyanyian kodok, jangkrik lagi menemani Dio tapi kicauan burung loncat dari ranting keranting. Burung yang indah berdada kuning menseruputi daun sisa air embun. Sambil memegang koter “sabit” lantunan dio ikut bersiul bersama burung – burung. Pagi itu terasa terseret, hati tentram, ayem. Adem. Berkilau pancaran gunung – gunung terhias pohon tinggi menjular menusuk langit. Pemandanganpun makin indah bukit berbaris menunjukkan warna biru ke hijau – hijauan. Alam bersolek tanpa malu – malu.
Hari sudah menengadah diatas kepala. Dengan terpaksa ubun –ubun terasa mendidih mengeluarkan keringat mengalir. Pundak, dada yang kering terlihat basah mandi keringat semangat kegigihan kehidupan baru. Di iringi tabuahan perut mulai keroncongan siang itu. ”Ayo istirahat dulu kita makan siang!”. Ujar pak dhe surono. ”Ia pak dhe”. Jawab Dio dengan semangat. Dulu dengan nasi tiwul kini dengan nasi putih berlalapkan daun singkong di atasnya bertaburan sambal terasi bertambah lalapan ikan asin menemaninya. Genggaman erat lidah merasakan makan siang. Walau begitu terik matahari menyengat tak mengalahkan nikmatnya makan siang.
” Dio, besok ikut pak dhe!”.
” kemana?”. saut Dio dengan muka tersenyum.
”nyingso di gunung payung”. Jawab pak dhe surono.
“ terserah pak dhe aja”.
Daun rindang, daun hijau penuh kesuburan ditemani pohon –pohon besar.